PERKAWINAN BIMA DENGAN ARIMBI

Pada suatu hari ketika si Bratasena sedang asik menebang pohon membuka hutan, lewatlah seorang Dewi dari sebuah kerajaan, Dewi itu datang mendekat ingin melihat dengan jelas siapa yang sedang bekerja membuka hutan itu. Dewi itu ternyata seorang raksasa, ia adalah putri kerajaan Pringgandani yang sedang melintas di hutan Amarta. Pada saat melihat si Bratasena sedang bekerja, putri itu begitu terpesona dengan si Bratasena dan diapun jatuh cinta padanya. Karena sadar bahwa ia adalah seorang raksasi sedangkan orang itu nampak seperti seorang satria yang gagah, Dewi itu menjadi kecil hati, namun karena begitu terpesonanya dia dia menghampiri Bratasena dan memeluk kakinya secara tiba-tiba seolah tidak ingin melepaskannya.

Bratasena yang merasa terganggu pekerjaannya menjadi tidak suka dengan putri itu, walaupun sebagai seorang lelaki normal telah sekian lama hidup di hutan pastilah menginginkan kehadiran seorang wanita, namun karena dia raksasa dan caranya mendekatinya sangat aneh maka dia kibaskan kakinya hingga Dewi raksasi itu terjatuh.

Tidak jauh dari situ ternyata Dewi Kunti melihat segalanya. Perasaannya yang peka tahu bahwa Dewi raksasa itu menyenangi putranya. Maka dia datang menolong Dewi raksasi itu sambil berkata “Aduh kasihan sekali Dewi yang cantik ini terjatuh di hutan seperti ini.” Kemudian dilihatnya si Bratasena sambil berkata “Lihatlah anakku alangkah cantiknya Dewi ini”

Bratasena yang tadinya melihat muka sang Dewi saja tidak mau, kini mencoba melihat wajah Dewi raksasi itu. Dan memang dilihatnya memang Dewi itu cantik juga, hanya saja tubuhnya itu besar sekali tidak seperti wanita lain. Eh tapi akan cocok dengan badanku yang juga tinggi besar ini, pikir si Bratasena.

Dewi Kunti mengajak Dewi raksasi itu berjalan ke arah tempat tinggal Pandawa di Hutan Amarta. Sambil berjalan Dewi itu memperkenalkan namanya Dewi Arimbi dari negara Pringgodani. Tak lama kemudian si Bratasena ikut menyusul pulang ke rumah.
Di dapatinya Kakaknya Puntadewa sedang bercakap-cakap dengan Dewi yang tadi memegangi kakinya.

Kemudian didengarnya kakaknya memanggil namanya ” Adikku Bratasena kemarilah, Putri ini berasal dari Pringgodani, namanya Dewi Arimbi. Dia ingin melanjutkan perjalanan pulang ke Pringgodani. Apakah kamu bersedia mengantarkannya?

“Apapun perintah kakang akan aku laksanakan” demikian si Bratasena menyahut.
Tidak lama kemudian Dewi Kunti keluar dengan membawa sebungkus bekal dan memberikannya kepada Bratasena, ini anakku pergilah antarkan Dewi ini ke Pringgodani.

Singkat cerita berangkatlah Bratasena dan teman barunya ke istana kerajaan Pringgodani. Sampai di Istana menghamburlah putri raja itu ke Ayahnya dan menceritakan semua yang terjadi, dan tanpa malu ia mengatakan bahwa ia menyukai ksatria yang mengantarkannya itu. Kemudian pada saat Bratasena si ksatria itu menghadap, dia menanyakan asal-usul si Bratasena dan menanyakan juga mengapa ia tinggal di hutan.

Bratasena menceritakan semua hal tentang asal-usul nya dan kejadian sejak mereka dikhianati oleh saudara mereka Kurawa dan keluar dari sumur Jalatunda serta mendapatkan hadiah dari raja Wirata.

Ayahanda Dewi Arimbi manggut-manggut, setelah ia mengetahui asal-usulnya ia tidak keberatan apabila Putrinya akan menikah dengan si ksatria Pandawa putera Pandu Dewanata itu. Kemudian sang Raja bertanya kepada Bratasena, apakah benar ia mau memperistri anaknya?
Bratasena tertegun sejenak, kemudian dia menjawab bahwa ia bersedia. Dewi Arimbi yang mendengar dari dalam hatinya berbunga-bunga, dipeluknya ibunya yang saat itu sedang disampingnya. Ibunya mengelus-elus rambut Arimbi dengan penuh kasih.

Apabila engkau bersedia dan anakkupun juga senang dengan sira maka sebaiknya segera hal ini engkau beritahukan kepada Ibu dan saudara-saudaramu.

Maka Bratasena segera meminta diri untuk kembali pulang ke hutan Amarta, keberangkatannya diantarkan oleh Ayahanda Dewi Arimbi, Ibunya dan Dewi arimbi sendiri hingga ke depan gerbang istana.

Sementara itu di Hutan Amarta, tidak lama setelah Bratasena pergi mengantar dewi Arimbi datanglah Patih Nirbita, utusan dari Raja Wirata Prabu Matswapati, bersama dengan rombongannya, ikut pula para putera raja Raden Seta, Raden Utara dan Raden Wratsangka. Pada saat kedatanganya Raden Seta menanyakan kepada Puntadewa kemana gerangan si Jagalbilawa Bratasena, kemudian Puntadewa menceritakan kejadian sehari kemarin. Raden Seta hanya tersenyum mendengarnya, dia sangat kagum dengan kekuatan dan kesaktian Jagalbilawa yang mampu mengalahkan Rajamala yang amat ditakuti seluruh rakyat Wirata.

Dengan hadirnya rombongan Patih Nirbita, pekerjaan membuka hutan menjadi cepat selesai, apalagi setelah itu si Bratasena juga datang dan dengan cepat terbukalah sebuah daerah yang cukup luas untuk didirikan sebuah tempat tinggal dan mungkin dapat berkembang menjadi desa, kota bahkan kerajaan.

Bratasena sejak kedatangannya memberitahukan kepada ibunya bahwa Raja kerajaan Pringgodani telah berkenan untuk mengambilnya sebagai menantu. Dewi Kunti yang mendengarnya menjadi sangat senang dan mengumumkan hal itu kepada semua orang yang ada kepada anak-anaknya Pandawa juga kepada rombongan patih Nirbita, para pangeran kerajaan Wirata, dan kepada para prajurit.

Berkatalah Patih Nirbita bahwa semua senang dengan berita itu dan berkenan untuk ikut mengantarkan Bratasena ke negeri Pringgodani untuk menghadiri pesta perkawinan sang Bratasena dengan Dewi Arimbi, apalagi pekerjaan membuka hutan juga sudah selesai. Maka bersiaplah mereka untuk pergi dalam rombongan yang mengantar mereka ke Negeri Pringgodani. Pinten dan Tangsen senang sekali karena sudah lama mereka ingin melihat kota, setelah sekian lama mereka hidup di hutan berteman dengan binatang hutan. Dewi Kunti menangkap kegembiraan itu dan dalam hati ia berkata, Madrim … untunglah anakmu kembar dua, apabila cuma satu,
maka alangkah merananya anakmu itu.

Tidak lama kemudian berangkatlah rombongan itu ke Istana kerajaan Pringgodani. singkat cerita mereka sampai di Istana kerajaan Pringgodani dan disambut dengan meriah oleh rakyat Pringgodani dan ternyata kerajaan juga tengah bersiap-siap mengadakan pesta untuk pernikahan putri raja mereka yaitu putri Arimbi.

Selang sehari setelah kedatangan mereka pernikahan segera dilangsungkan dan Raja mengumumkan hal itu kepada rakyatnya, dan setelah itu diadakan pesta untuk menyambutnya. Semua rakyat berduyun-duyun ingin melihat wajah si Ksatria yang menjadi suami Dewi Arimbi itu.

Setelah perkawinan, Bratasena memboyong istrinya ke Hutan Amarta tentu saja seijin ayah dan ibunya. Dewi arimbi tidak berkeberatan tinggal dihutan. Maka begitu pesta perkawinan usai pulanglah Dewi Kunti dan puteranya, Patih Nirbita dan rombongannya, serta Bratasena dan istrinya untuk kembali ke hutan. Sesampai dihutan Amarta Patih Nirbita dan rombongannya meminta diri untuk langsung pulang ke kerajaan Wirata. Maka tingggalah Pandawa dan Ibunya serta anggota baru keluarga yaitu Dewi Arimbi di Hutan Amarta. Untuk beberapa waktu lamanya Dewi Kunti dan Putra-putranya masih hidup dalam keadaan prihatin.

Pada suatu hari tanpa di duga-duga datanglah Begawan Abyasa, Mertua dari Dewi Kunti, Kakek dari para Pandawa. Dewi Kunti menceritakan kejadian bagaimana asalnya hingga mereka tinggal dihutan, hidup sengsara dan mengembara. Dia juga mengulangi lagi kesedihan hatinya karena akibat perbuatan Kurawa yang dengki dan keterlaluan itu mereka hidup terlunta-lunta.

Maka bersabdalah Begawan Abyasa bahwa mereka tidak perlu bersedih hati karena perbuatan Kurawa. Di dunia ini menurut Begawan Abyasa tidak akan ada orang yang luput dari sengsara. Bagi manusia suka dan duka itu memang silih berganti, dan setiap orang secara adil akan mengalaminya.

Published in: on April 19, 2010 at 7:54 pm  Tinggalkan sebuah Komentar  

RADEN WERKUDARA

Raden Werkudara atau Bima merupakan putra kedua dari Dewi Kunti dan Prabu Pandudewanata. Tetapi ia sesungguhnya adalah putra Batara Bayu dan Dewi Kunti sebab Prabu Pandu tidak dapat menghasilkan keturunan. Ini merupakan kutukan dari Begawan Kimindama. Namun akibat Aji Adityaredhaya yang dimiliki oleh Dewi Kunti, pasangan tersebut dapat memiliki keturunan.

Pada saat lahirnya, Werkudara berwujud bungkus. Tubuhnya diselubungi oleh selaput tipis yang tidak dapat disobek oleh senjata apapun. Hal ini membuat pasangan Dewi Kunthi dan Pandu sangat sedih. Atas anjuran dari Begawan Abiyasa, Pandu kemudian membuang bayi bungkus tersebut di hutan Mandalasara. Selama delapan tahun bungkus tersebut tidak pecah-pecah dan mulai berguling kesana kemari sehingga hutan yang tadinya rimbun menjadi rata dengan tanah. Hal ini membuat penghuni hutan kalang kabut. Selain itu para jin penghuni hutan pun mulai terganggu, sehingga Batari Durga, ratu dari semua makhluk halus, melapor pada Batara Guru, raja dari semua dewa. Lalu, raja para dewa itu memerintahkan Batara Bayu, Batari Durga, dan Gajah Sena, anak dari Erawata, gajah tunggangan Batara Indra, serta diiringi oleh Batara Narada untuk turun dan memecahkan bungkus bayi tersebut. Sebelum dipecahkan, Batari Durga masuk kedalam bungkus dan memberi sang bayi pakaian yang berupa, Kain Poleng Bang Bintulu (dalam kehidupan nyata, banyak ditemui di pulau Bali sebagai busana patung-patung yang danggap sakral (kain poleng= kain kotak-kotak berwarna hitam dan putih), Gelang Candrakirana, Kalung Nagabanda, Pupuk Jarot Asem dan Sumping (semacam hiasan kepala) Surengpati. Setelah berbusana lengkap, Batari Durga keluar dari tubuh Bima, kemudian giliran tugas Gajah Sena memecahkan bungkus dari bayi tersebut. Oleh Gajah Sena kemudian bayi tersebut di tabrak, di tusuk dengan gadingnya dan diinjak-injak., anehnya bukannya mati tetapi bayi tersebut kemudian malah melawan, setelah keluar dari bungkusnya. Sekali tendang, Gajah Sena langsung mati dan lalu menunggal dalam tubuh si bayi. Lalu bungkus dari Werkudara tersebut di hembuskan oleh Batara Bayu sampai ke pangkuan Begawan Sapwani, yang kemudian dipuja oleh pertapa tersebut menjadi bayi gagah perkasa yang serupa Bima. Bayi tersebut kemudian diberi nama Jayadrata atau Tirtanata.

Nama-nama lain bagi Bima adalah Bratasena (nama yang di gunakan sewaktu masih muda), Werkudara yang berarti perut srigala, Bima, Gandawastratmaja, Dwijasena, Arya Sena karena di dalam tubuhnya menunggal tubuh Gajah Sena, Wijasena, Dandun Wacana, di dalam tubuhnya menunggal raja Jodipati yang juga adik dari Prabu Yudistira, Jayadilaga, Jayalaga, Kusumayuda, Kusumadilaga yang artinya selalu menang dalam pertempuran, Arya Brata karena ia tahan menderita, Wayunendra, Wayu Ananda, Bayuputra, Bayutanaya, Bayusuta, Bayusiwi karena ia adalah putra batara Bayu, Bilawa, nama samaran saat menjadi jagal di Wiratha, Bondan Peksajandu yang artinya kebal akan segala racun, dan Bungkus yang merupakan panggilan kesayangan Prabu Kresna.

Karena Bima adalah putra Batara Bayu, maka ia memiliki kesaktian untuk menguasai angin. Werkudara memiliki saudara Tunggal Bayu yaitu, Anoman, Gunung Maenaka, Garuda Mahambira, Ular Naga Kuwara,Liman/ Gajah Setubanda, Kapiwara, Yaksendra Yayahwreka, dan Pulasiya yang menunggal dalam tubuh Anoman sesaat sebelum perang Alengka terjadi (zaman Ramayana).

Werkudara yang bertubuh besar ini memiliki perwatakan berani, tegas, berpendirian kuat, teguh iman. Selama hidupnya Werkudara tidak pernah berbicara halus kepada siapapun termasuk kepada orang tua, dewa, dan gurunya, kecuali kepada Dewa Ruci, dewanya yang sejati, ia berbicara halus dan mau menyembah.

Selama hidupnya Werkudara berguru pada Resi Drona untuk olah batin dan keprajuritan, Begawan Krepa, dan Prabu Baladewa untuk ketangkasan menggunakan gada. Dalam berguru Werkudara selalu menjadi saingan utama bagi saudara sepupunya yang juga sulung dari Kurawa yaitu Duryudana.

Para Kurawa selalu ingin menyingkirkan Pandawa karena menurut mereka Pandawa hanya menjadi batu sandungan bagi mereka untuk mengusasai kerajaan Astina. Kurawa menganggap kekuatan Pandawa terletak pada Werkudara karena memang ia adalah yang terkuat diantara kelima Pandawa, sehingga suatu hari atas akal licik Patih Sengkuni yang mendalangi para Kurawa merencanakan untuk meracun Werkudara. Kala itu saat Bima sedang bermain, dpanggilnya ia oleh Duryudana dan diajak minum sampai mabuk dimana minuman itu di beri racun. Setelah Werkudara jatuh tak sadarkan diri, ia di gotong oleh para kurawa dan dimasukkan kedalam Sumur Jalatunda dimana terdapat ribuan ular berbisa di sana. Kala itu, datanglah Sang Hyang Nagaraja, penguasa Sumur Jalatunda membantu Werkudara, lalu olehnya Werkudara diberi kesaktian agar kebal akan bisa apapun dan mendapat nama baru dari San Hyang Nagaraja yaitu Bondan Peksajandu.

Akal para Kurawa untuk menyingkirkan Pandawa belum habis, mereka lalu menantang Yudistira untuk melakukan timbang yang menang akan mendapatkan Astina seutuhnya. Jelas saja Pandawa akan kalah karena seratus satu orang melawan lima, namun Werkudara memiliki akal, ia meminta kakaknya menyisakan sedikit tempat buat dirinya. Werkudara lalu mundur beberapa langkah, lalu meloncat dan menginjak tempat yang disisakan kakaknya, sesaat itu pulalah, para Kurawa yang duduk paling ujung menjadi terpental jauh. Para Kurawa yang terpental sampai ke negri-negri sebrang itu yang kemudian dalam Baratayuda dinamai “Ratu Sewu Negara.” Diantaranya adalah Prabu Bogadenta dari kerajaan Turilaya, Prabu Gardapati dari kerajaan Bukasapta, Prabu Gardapura yang menjadi pendamping Prabu Gardapati sebagai Prabu Anom, Prabu Widandini dari kerajaan Purantura, dan Kartamarma dari kerajaan Banyutinalang. Cerita ini dikemas dalam satu lakon yang dinamai Pandawa Timbang.

Belum puas dengan usaha-usaha mereka, Kurawa kembali ingin mencelakakan Pandawa lewat siasat licik Sengkuni. Kali ini Para Pandawa diundang untuk datang dalam acara penyerahan kekuasaan Amarta dan di beri suatu pesanggrahan yang terbuat dari kayu yang bernama Bale Sigala-gala. Acara penyerahan tersebut diulur-ulur hingga larut malam dan para Pandawa kembali di buat mabuk. Setelah para Pandawa tertidur, hanya Bima yang masih terbangun karena Bima menolak untuk ikut minum- minuman keras. Pada tengah malam, Para Kurawa yang mengira Pandawa telah tidur mulai membakar pesanggrahan. Sebelumnya Arjuna memperbolehkan enam orang pengemis untuk tidur dan makan di dalam pesanggrahan karena merasa kasihan. Saat kebakaran terjadi Bima langsung menggendong ibu, kakak, dan adik-adiknya kedalam terowongan yang telah dibuat oleh Yamawidura, yang mengetahui akal licik Kurawa. Mereka lalu dibimbing oleh garangan putih yang merupakan jelmaan dari Sang Hyang Antaboga. Sampai di kayangan Sapta Pratala. Di sini Werkudara kemudian berkenalan dan menikah dengan putri Sang Hyang Antaboga yang beranama Dewi Nagagini. Dari perkawinan itu mereka memiliki sorang putra yang kelak menjadi sangat sakti dan ahli perang dalam tanah yang dinamai Antareja. Setelah para Pandawa meninggalkan kayangan Sapta Pratala, mereka memasuki hutan. Di tengah Hutan para Pandawa bertemu dengan Prabu Arimba yang merupakan putra dari Prabu Tremboko yang pernah dibunuh Prabu Pandu atas hasutan Sengkuni. Mengetahui asal usul para Pandawa, Prabu Arimba kemudian ingin membunuh mereka, tetapi dapat dihalau dan akhirnya tewas di tangan Werkudara. Namun Adik dari Prabu Arimba bukannya benci tetapi malah menaruh hati pada Werkudara. Sebelum mati Prabu Arimba menitipkan adiknya Dewi Arimbi kepada Werkudara. Karena Arimbi adalah seorang rakseksi, maka Werkudara menolak cintanya. Lalu Dewi Kunti yang melihat ketulusan cinta dari Dewi Arimbi bersabda, “ Duh ayune, bocah iki…” (Duh cantiknya, anak ini..!) Tiba-tiba, Dewi Arimbi yang buruk rupa itu menjadi cantik dan lalu diperistri oleh Werkudara. Pasangan ini akhirnya memiliki seorang putra yang ahli perang di udara yang dinamai Gatotkaca. Gatotkaca lalu juga diangkat sebagai raja di Pringgandani sebagai pengganti pamannya, Prabu Arimba.

Pada saat berada di hutan setelah kejadian Bale Sigala-gala, ibunya meminta Werkudara dan Arjuna untuk mencari dua bungkus nasi untuk Nakula dan Sadewa yang kelaparan. Werkudara datang kesebuah negri bernama Kerajaan Manahilan dan di sana ia menjumpai Resi Hijrapa dan istrinya yang menangis. Saat ditanyai penyebabnya, mereka menjawab bahwa putra mereka satu satunya mendapat giliran untuk dimakan oleh raja di negri tersebut. Raja dari negri tersebut yang bernama Prabu Baka atau Prabu Dawaka memang gemar memangsa manusia. Tanpa pikir panjang, Werkudara langsung menawarkan diri sebagai ganti putra pertapa tersebut. Saat dimakan oleh Prabu Baka, bukannya badan dari Werkudara yang sobek tetapi gigi dari Prabu Baka yang putus. Hal ini menyebabkan murkanya Prabu Baka. Tetapi dalam perkelahian melawan Werkudara, Prabu Baka tewas dan seluruh rakyat bersuka ria karena raja mereka yang gemar memangsa manusia telah meninggal. Oleh rakyat negri tersebut Werkudara akan dijadikan raja, namun Werkudara menolak. Saat ditanyai apa imbalan yang ingin diperoleh, Werkudara menjawab ia hanya ingin dua bungkus nasi. Lalu setelah mendapat nasi tersebut Werkudara kembali ke hutan dan kelak keluarga pertapa itu bersedia menjadi tumbal demi kejayaan Pandawa di Baratayuda Jayabinangun. Sementara Arjuna juga berhasil mendapatkan dua bungkus nasi dari belas kasihan orang. Dewi Kunti pun berkata “Arjuna, makanlah sendiri nasi tersebut!” Dewi Kunti selalu mengajarkan bahwa dalam hidup ini kita tidak boleh menerima sesuatu dari hasil iba seseorang.

Selain Gatotkaca dan Antareja, Werkudara juga mamiliki putra yang ahli perang dalam air yaitu Antasena, Putra Bima dengan Dewi Urangayu, putri dari Hyang Mintuna, dewa penguasa air tawar.

Para tetua Astina merasa sedih karena mereka mengira Pandawa telah meninggal karena mereka menemukan enam mayat di pesanggrahan yang habis terbakar itu. Kurawa yang sedang bahagia kemudian sadar bahwa Pandawa masih hidup saat mereka mengikuti sayembara memperebutkan Dewi Drupadi. Para Pandawa yang diwakilkan Werkudara dapat memenangkan sayembara denagn membunuh Gandamana. Disaat yang sama hadir pula Sengkuni dan Jayajatra yang ikut sayembara mewakili Resi Drona tetapi kalah. Dari Gandamana, Werkudara memperoleh aji-aji Wungkal Bener, dan Aji-aji Bandung Bandawasa. Setelah memenangkan sayembara tersebut, Werkudara mempersembahkan Dewi Drupadi kepada kakaknya, Puntadewa.

Setelah mengetahui bahwa Pandawa masih hidup, para tetua Astina seperti Resi Bisma, Resi Drona, dan Yamawidura mendesak Prabu Destarastra untuk memberikan Pamdawa hutan Wanamarta, denagn tujuan agar Kurawa dan Pandawa tidak bersatu dan menghindarkan perang saudara. Akhirnya Destarastra menyetujuinya. Para Pandawa lalu dihadiahi hutan Wanamarta yang terkenal angker. Dan dengan usaha yang keras akhirnya mereka dapat mendirikan sebuah kerajaan yang dinamai Amarta. Werkudara pun berhasil mengalahkan adik dari raja jin, Prabu Yudistira, yang bersemayam di Jodipati yang bernama Dandun Wacana. Dadun Wacana kemudian menyatu dalam tubuh Werkudara. Lalu, Werkudara mendapat warisan Gada Lukitasari selain itu, Werkudara juga mendapat nama Dandun Wacana. Sebagai raja di Jodipati, Werkudara bergelar Prabu Jayapusaka dengan Gagak Bongkol sebagai patihnya. Werkudara juga pernah menjadi raja di Gilingwesi dengan gelar Prabu Tugu Wasesa.

Pada saat Pandawa kalah dalam permainan judi dengan kurawa, para pandawa harus hidup sebagai buangan selama 12 tahun di hutan dan 1 tahun menyamar. Dalam penyamaran tersebut, Werkudara menyamar sebagai jagal atau juru masak istana di negri Wiratha dengan nama Jagal Abilawa. Di sana ia berjasa membunuh Kencakarupa, Rupakenca dan Rajamala yang bertujuan memberontak. Sesungguhnya ia membunuh Kencakarupa dan Rupakenca dengan alasan keduannya ingin memperkosa Salindri yang tidak lain adalah istri kakaknya, Puntadewa, Dewi Drupadi yang sedang menyamar.

Pernah Bima diminta oleh gurunya, Resi Drona, untuk mencari Tirta Prawitasari atau air kehidupan di dasar samudra. Sebenarnya Tirta Prawitasari itu tidak ada di dasar samudra tetapi ada di dasar hati tiap manusia dan perintah gurunya itu hanyalah jebakan yang di rencanakan oleh Sengkuni dengan menggunakan Resi Drona. Namun Bima menjalaninya dengan sungguh-sungguh. Ia mencari tirta Prawitasari itu sampai ke dasar samudra di Laut Selatan. Dalam perjalanannya ia bertemu dengan dua raksasa besar yang menghadang. Kedua raksasa itu bernama Rukmuka dan Rukmakala yang merupakan jelmaan dari Batara Indra dan Batara Bayu yang di sumpah oleh Batara Guru menjadi raksasa. Setelah berhasil membunuh kedua rakasasa tersebut dan setelah raksasa tersebut berubah kembali ke ujud aslinya dan kembali ke kayangan, Werkudara melanjutkan peprjalanannya. Sesampainya di samudra luas ia kembali diserang oleh seekor naga bernama Naga Nemburnawa. Dengan kuku pancanakanya, disobeknya perut ular naga tersebut. Setelah itu Werkudara hanya terdiam di atas samudra. Di sini lah ia bertemu dengan dewanya yang sejati, Dewa Ruci. Oleh Dewa Ruci, Werkudara kemudian diminta masuk kedalam lubang telinga dewa kerdil itu. Lalu Werkudara masuk dan mendapat wejangan tentang makna kehidupan. Ia juga melihat suatu daerah yang damai, aman, dan tenteram. Setelah itu Werkudara menjadi seorang pendeta bergelar Begawan Bima Suci dan mengajarkan apa yang telah ia peroleh dari Dewa Ruci.

Werkudara juga pernah berjasa dalam menumpas aksi kudeta yang akan dilakukan oleh Prabu Anom Kangsa di negri Mandura. Kangsa adalah putra dari Dewi Maerah, permaisuri Prabu Basudewa, dan Prabu Gorawangsa dari Guwabarong yang sedang menyamar sebagai Basudewa. Saat itu Kangsa hendak menyingkirkan putra-putra Basudewa yaitu Narayana (kelak menjadi Kresna), Kakrasana (kelak menjadi Baladewa, raja pengganti ayahnya) dan Dewi Lara Ireng (kelak menjadi istri Arjuna yang bernama Wara Sumbadra). Dalam lakon berjudul Kangsa Adu Jago itu, Werkudara berhasil menyingkirkan Patih Suratimantra dan Kangsa sendiri tewas oleh putra-putra Basudewa, Kakrasana dan Narayana. Sejak saat itulah hubungan kekerabatan antara Pandawa dan Kresna serta Baladewa menjadi lebih erat.

Dalam lakon Bima Kacep, Werkudara menjadi seorang pertapa untuk mendapat ilham kemenangan dalam Baratayuda. Ketika sedang bertapa datanglah Dewi Uma yang tertarik dengan kegagahan sang Werkudara. Mereka lalu berolah asmara. Namun, malang, Batara Guru, suami Dewi Uma, memergoki mereka. Oleh Batara Guru, alat kelamin Werkudara dipotong dengan menggunakan As Jaludara yang kemudian menjadi pusaka pengusir Hama bernama Angking Gobel. Dari hubungannya dengan Dewi Uma, Bima memiliki seorang putri lagi bernama Bimandari. Lakon ini sangat jarang dipentaskan. Dan beberapa dalang bahkan tidak mengetahui cerita ini.

Selain Ajian yang diwariskan oleh Gandamana, Werkudara juga memiliki Aji Blabak pangantol-antol dan Aji Ketuklindu. Dalam hal senjata, Werkudara memiliki senjata andalan yaitu Gada Rujak Polo. Selain itu Werkudara juga memiliki pusaka Bargawa yang berbantuk kapak serta Bargawastra yang berbentuk anak panah. Anak panah tersebut tak dapat habis karena setiap kali digunakan, anak panah tersebut akan kembali ke pemiliknya. Ia pernah pula bertemu dengan Anoman, saudara tunggal Bayunya. Disana mereka bertukar ilmu, dimana Werkudara mendapat Ilmu Pembagian Jaman dari Anoman dan Anoman mendapat Ilmu Sasra Jendra Hayuningrat. Sebelumnya, arwah Kumbakarna yang masih penasaran dan ingin mencapai kesempurnaan juga menyatu di paha kiri Raden Werkudara dalam cerita Wahyu Makutarama yang menjadikan ksatria panegak Pandawa tersebut bertambah kuat.

Dalam perang besar Baratayuda Jayabinangun Werkudara berhasil membunuh banyak satria Kurawa, diantaranya, Raden Dursasana, anak kedua kurawa yang dihabisinya dengan kejam pada hari ke 16 Baratayuda untuk melunasi sumpah Drupadi yang hanya akan menyanggul dan mengeramas rambutnya setelah dikeramas dengan darah Dursasana setelah putri Pancala tersebut dilecehkan saat Pandawa kalah bermain dadu. Bima juga membunuh adik- adik Prabu Duryudana yang lain seperti, Gardapati di hari ke tiga Baratyuda, Kartamarma, setelah Baratayuda, dan Banyak lagi. Werkudara pun membunuh Patih Sengkuni di hari ke 17 dengan cara menyobek kulitnya dari anus sampai ke mulut untuk melunasi sumpah ibunya yang tidak akan berkemben jika tidak memakai kulit Sengkuni saat Putri Mandura tersebut dilecehkan Sengkuni pada pembagian minyak tala. Hal tersebut juga sesuai dengan kutukan Gandamana yang pernah dijebak Sengkuni demi merebut posisi mahapatih Astina bahwa Sengkuni akan mati dengan tubuh yang dikuliti.

Pada hari terakhir Baratayuda, semua perwira Astina telah gugur, tinggal saingan terbesar Werkudaralah yang tersisa yaitu raja Astina sendiri, Prabu Duryudana. Pertarungan ini diwasiti oleh Prabu Baladewa sendiri yang merupakan guru dari kedua murid dengan aturan hanya boleh memukul bagian tubuh pinggang keatas. Dalam pertarungan itu Duryudana tubuhnya telah kebal dan hanya paha kirinya yang tidak terkena minyak tala, karena ia tidak mau membuka kain penutup kemaluannya yang masih menutupi paha kirinya saat Dewi Gendari mengoleskan minyak tersebut ke tubuh Duryudana. Banyak pihak yang menyalah artikan paha ini dengan mengatakan betis kiri. Sebenarnya yang betul adalah paha karena dalam bahasa Jawa wentis adalah paha bukan betis. Duryudana yang mencoba memukul paha kiri Werkudara gagal karena di paha kiri Werkudara bersemayam arwah Kumbakarna yang mengakibatkan paha kiri Bima menjadi sangat kuat, ditempat lain Werkudara mulai kewalahan karena Duryudana kebal akan segala pukulan Gada Rujak Polonya. Untunglah Arjuna dari kejauhan memberi isyarat dengan menepuk paha kiri nya. Werkudara yang waspada dengan isyarat adiknya itu langsung menghantamkan gadanya di paha kiri Duryudana, dalam dua kali pukul Duryudana sekarat, oleh Werkudara, Duryudana lalu dihabisi dengan menghancurkan wajahnya sehingga tak berbentuk. Baladewa yang melihat hal itu menganggap Werkudara berbuat curang dan hendak menghukumnya, namun atas penjelasan dari Prabu Kresna akan kecurangan yang dilakukan terlebih dulu oleh Duryudana dan kutukan dari Begawan Maetreya akhirnya Prabu Baladewa mau memaafkannya. Saat Begawan Maetreya datang menghadap Duryudana dan memberi nasehat tentang pemberian setengah kerajaan kepada Pandawa, Duryudana hanya duduk dan berkata, seorang pendeta seharusnya hanya berpendapat jika sang raja memintanya, sambil menepuk-nepuk paha kirinya. Bagi Begawan Maetreya hal ini dianggap sebagai penghinaan, ia lalu menyumpahi Prabu Duryudana kelak mati dengan paha sebelah kiri yang hancur.

Setelah Baratayuda usai, Para Pandawa datang menghadap Prabu Destarastra dan para tetua Astina lainnya. Ternyata Destarastra masih menyimpan dendam pada Werkudara yang mendengar bahwa banyak putranya yang tewas di tangan Werkudara terutama Dursasana yang di bunuhnya dengan kejam. Saat para Pandawa datang untuk memberi sembah sungkem pada Destarastra, diam-diam Destarastra membaca mantra Aji Lebursaketi untuk menghancurkan Werkudara, namun, Prabu Kresna yang tahu akan hal itu mendorong Werkudara kesamping sehingga yang terkena aji-aji tersebut adalah arca batu. Seketika itu pulalah arca tersebut hancur menjadi abu. Destarastra kemudian mengakui kesalahannya dan iapun mundur dari pergaulan masyarakat dan hidup sebagai pertapa di hutan bersama istrinya dan Dewi Kunti. Beberapa pakem wayang mengatakan bahwa Prabu Destarastra telah tewas sebelum pecah perang Baratayuda saat Kresna menjadi Duta Pandawa ke Astina. Saat itu ia tewas terinjak-injak putra-putranya yang berlarian karena takut akan kemarahan Prabu Kresna yang telah menjadi Brahala.

Akhir riwayatnya, Werkudara mati moksa bersama-sama saudara-saudaranya dan Dewi Drupadi.

Published in: on April 19, 2010 at 7:47 pm  Tinggalkan sebuah Komentar  

BIMA

Nama: Bima
Nama lain: Werkodara; Bhimasena;
Bayusuta; Bharatasena;
Blawa, dan lain-lain.
Aksara Dewanagari: भीम; भीमसेन
Ejaan Sanskerta: Bhīma; Bhīmaséna
Muncul dalam kitab: Mahabharata, Bhagawadgita, Purana
Asal: Hastinapura, Kerajaan Kuru
Kediaman: Hastinapura, lalu pindah ke Indraprastha
Profesi: Kesatria; juru masak
Senjata: Gada Rujapala
Dinasti: Kuru
Pasangan: Dropadi, Hidimbi, Walandara
Anak: Gatotkaca, Sutasoma, Antareja, Antasena
Bima (Sanskerta: भीम, bhīma) atau Bimasena (Sanskerta: भीमसेन, bhīmaséna) adalah seorang tokoh protagonis dalam wiracarita Mahabharata. Ia dianggap sebagai seorang tokoh heroik. Ia adalah putra Dewi Kunti dan dikenal sebagai tokoh Pandawa yang kuat, bersifat selalu kasar dan menakutkan bagi musuh, walaupun sebenarnya hatinya lembut. Ia merupakan keluarga Pandawa di urutan yang kedua, dari lima bersaudara. Saudara se’ayah’-nya ialah wanara yang terkenal dalam epos Ramayana dan sering dipanggil dengan nama Hanoman. Akhir dari riwayat Bima diceritakan bahwa dia mati sempurna (moksa) bersama ke empat saudaranya setelah akhir perang Bharatayuddha. Cerita ini dikisahkan dalam episode atau lakon Prasthanikaparwa. Bima setia pada satu sikap, yaitu tidak suka berbasa basi dan tak pernah bersikap mendua serta tidak pernah menjilat ludahnya sendiri.

Sifat

Bima memiliki sifat gagah berani, teguh, kuat, tabah, patuh dan jujur, serta menganggap semua orang sama derajatnya, sehingga dia digambarkan tidak pernah menggunakan bahasa halus (krama inggil) atau pun duduk di depan lawan bicaranya. Bima melakukan kedua hal ini (bicara dengan bahasa krama inggil dan duduk) hanya ketika menjadi seorang resi dalam lakon Bima Suci, dan ketika dia bertemu dengan Dewa Ruci. Ia memiliki keistimewaan dan ahli bermain gada, serta memiliki berbagai macam senjata, antara lain: Kuku Pancanaka, Gada Rujakpala, Alugara, Bargawa (kapak besar) dan Bargawasta. Sedangkan jenis ajian yang dimilikinya antara lain: Aji Bandungbandawasa, Aji Ketuklindu, Aji Bayubraja dan Aji Blabak Pangantol-antol.

Bima juga memiliki pakaian yang melambangkan kebesaran, yaitu: Gelung Pudaksategal, Pupuk Jarot Asem, Sumping Surengpati, Kelatbahu Candrakirana, ikat pinggang Nagabanda dan Celana Cinde Udaraga. Sedangkan beberapa anugerah Dewata yang diterimanya antara lain: Kampuh atau Kain Poleng Bintuluaji, Gelang Candrakirana, Kalung Nagasasra, Sumping Surengpati dan Pupuk Pudak Jarot Asem.

Published in: on April 19, 2010 at 7:32 pm  Tinggalkan sebuah Komentar  

DIALOG PUNTADEWA DENGAN BATARA YAMA

Setelah berjalan beberapa lama, ia sampai ke tanah terbuka. Di depannya terbentang telaga. Airnya berkilau jernih bagaikan cermin cemerlang. Dan di pinggir telaga ia melihat keempat saudaranya tergeletak tak bergerak. Dihampirinya satu per satu, dirabanya kaki, tangan, dahi, dan denyut jantung mereka. Yudhistira berkata dalam hati, “Apakah ini berarti akhir dari sumpah yang harus kita jalani? Hanya beberapa hari sebelum berakhirnya masa pengasingan kita, kalian mati mendahului aku. Rupanya para dewata hendak membebaskan kita dari kesengsaraan.”

Menatap wajah Nakula dan Sahadewa, pemuda-pemuda yang di masa hidupnya periang dan perkasa tapi kini terbujur dingin tak bergerak, hati Yudhistira sedih. “Haruskah hatiku terbuat dari baja agar aku tidak menangisi kematian saudara-saudaraku? Apakah hidupku masih ada gunanya setelah keempat saudaraku mati? Untuk apa aku hidup? Aku yakin, ini bukan peristiwa biasa,” gumam Yudhistira. Ia tahu, tak seorang kesatria pun akan mampu membunuh Bhima dan Arjuna tanpa melewati pertarungan hebat.

“Tak ada luka di badan mereka. Wajah mereka tidak seperti wajah orang yang kesakitan. Mereka kelihatan tenang, seperti sedang tidur dalam damai.” Hatinya terus bertanya-tanya. “Sama sekali tak ada jejak kaki, apalagi bekasbekas tanah atau rumput yang terinjak-injak dalam perkelahian. Ini pasti peristiwa gaib. Mungkinkah ini tipu muslihat Duryodhana? Mungkinkah Duryodhana telah meracuni air telaga ini?”

Dengan berbagai pikiran di kepalanya, perlahan-lahan ia turun ke tepi telaga. la ingin melepaskan dahaganya yang sudah tak tertahankan lagi. Tiba-tiba suara gaib itu terdengar lagi, “Saudara-saudaramu telah mati karena tak menghiraukan kata-kataku. Jangan engkau ikuti mereka. Jawab dulu pertanyaanku, setelah itu baru puaskan hausmu. Telaga ini milikku.”

Yudhistira yakin, suara itulah yang menyebabkan saudara-saudaranya mati. Pikirnya, ini pasti suara yaksa. Ia berpikir, mencari cara untuk mengatasi situasi itu. Kemudian Yudhistira berkata kepada suara yang tidak berwujud itu.

Yudhistira: “Silakan ajukan pertanyaanmu.”
Suara gaib: “Apa yang menyebabkan matahari bersinar setiap hari?”
Yudhistira: “Kekuatan Brahman.”
Suara gaib: “Apa yang dapat menolong manusia dari semua marabahaya?”
Yudhistira: “Keberanian adalah pembebas manusia dari marabahaya.”
Suara gaib: “Mempelajari ilmu apakah yang bisa membuat manusia jadi bijaksana?”
Yudhistira: “Orang tidak menjadi bijaksana hanya karena mempelajari kitab-kitab suci. Orang menjadi bijaksana karena bergaul dan berkumpul dengan para cendekiawan besar.”
Suara gaib: “Apa yang lebih mulia dan lebih menghidupi manusia dari pada bumi ini?”
Yudhistira: “Ibu, yang melahirkan dan membesarkan anak-anaknya, lebih mulia dan lebih menghidupi daripada bumi ini.”
Suara gaib: “Apa yang lebih tinggi dari langit?”
Yudhistira: “Bapa.”
Suara gaib: “Apa yang lebih kencang dari angin?”
Yudhistira: “Pikiran.”
Suara gaib: “Apa yang lebih berbahaya dari jerami kering di musim panas?”
Yudhistira: “Hati yang menderita duka nestapa.”
Suara gaib: “Apa yang menjadi teman seorang pengembara?”
Yudhistira: “Kemauan belajar.”
Suara gaib: “Siapakah teman seorang lelaki yang tinggal di rumah?”
Yudhistira: “Istri.”
Suara gaib: “Siapakah yang menemani manusia dalam kematian?”
Yudhistira: “Dharma. Hanya Dialah yang menemani jiwa dalam kesunyian perjalanan setelah kematian.”
Suara gaib: “Perahu apakah yang terbesar?”
Yudhistira: “Bumi dan segala isinya adalah perahu terbesar di jagad ini.”
Suara gaib: “Apakah kebahagiaan itu?”
Yudhistira: “Kebahagiaan adalah buah dari tingkah laku dan perbuatan baik.”
Suara gaib: “Apakah itu, jika orang meninggalkannya ia dicintai oleh sesamanya?”
Yudhistira : “Keangkuhan. Dengan meninggalkan keangkuhan orang akan dicintai sesamanya.”
Suara gaib: “Kehilangan apakah yang menyebabkan orang bahagia dan tidak sedih?”
Yudhistira: “Amarah. Kehilangan amarah membuat kita tidak lagi diburu oleh kesedihan.”
Suara gaib: “Apakah itu, jika orang membuangnya jauh-jauh, ia menjadi kaya?”
Yudhistira: “Hawa nafsu. Dengan membuang hawa nafsu orang menjadi kaya.”
Suara gaib: “Apakah yang membuat orang benar-benar menjadi brahmana? Apakah kelahiran, kelakuan baik atau pendidikan sempurna? Jawab dengan tegas!”
Yudhistira: “Kelahiran dan pendidikan tidak membuat orang menjadi brahmana; hanya kelakuan baik yang membuatnya demikian. Betapapun pandainya seseorang, ia tidak akan menjadi brahmana jika ia menjadi budak kebiasaan jeleknya. Betapapun dalamnya penguasaannya akan kitab-kitab suci, tapi jika kelakuannya buruk, ia akan jatuh ke kasta yang lebih rendah.”
Suara gaib: “Keajaiban apakah yang terbesar di dunia ini?”
Yudhistira: “Setiap orang mampu melihat orang lain pergi menghadap Batara Yama, namun mereka yang masih hidup terus berusaha untuk hidup lebih lama lagi. Itulah keajaiban terbesar.”

Demikianlah yaksa itu menanyakan berbagai masalah dan Yudhistira menjawab semuanya tanpa ragu. Pertanyaan terakhir yang diajukan yaksa itu langsung berkaitan dengan saudara-saudaranya.

Suara gaib: “Wahai Raja, seandainya salah satu saudaramu boleh tinggal denganmu sekarang, siapakah yang engkau pilih? Dia akan hidup kembali.”
Yudhistira: (Berpikir sesaat, kemudian menjawab.) “Kupilih Nakula, saudaraku yang kulitnya bersih bagai awan berarak, matanya indah bagai bunga teratai, dadanya bidang dan lengannya ramping. Tetapi kini ia terbujur kaku bagai sebatang kayu jati.”
Suara gaib: (Belum puas akan jawaban Yudhistira, yaksa itu bertanya lagi.) “Kenapa engkau memilih Nakula, bukan Bhima yang kekuatan raganya enam belas ribu kali kekuatan gajah? Lagi pula, kudengar engkau sangat mengasihi Bhima. Atau, mengapa bukan Arjuna yang mahir menggunakan segala macam senjata, terampil olah bela diri dan jelas dapat melindungimu? Jelaskan, mengapa engkau memilih Nakula!”
Yudhistira: “Wahai Yaksa, dharma adalah satu-satunya pelindung manusia, bukan Bhima bukan Arjuna. Apabila dharma tidak diindahkan, manusia akan menemui kehancuran. Dewi Kunti dan Dewi Madri adalah istri avahku dan mereka adalah ibuku. Aku, anak Kunti, masih hidup. Jadi Dewi Kunti tidak kehilangan keturunan. Dengan pertimbangan yang sama dan demi keadilan, biarkan Nakula, putra Dewi Madri, hidup bersamaku.”

Yaksa itu puas sekali mendengar jawaban Yudhistira yang membuktikan bahwa ia adil dan berjiwa besar. Akhirnya, yaksa itu menghidupkan kembali semua saudara Yudhistira.

Ternyata, menjangan dan yaksa itu adalah penjelmaan Batara Yama, Dewa Kematian, yang ingin menguji kekuatan batin dan dharma Yudhistira.

Batara Yama berdiri di depan Yudhistira lalu memeluknya sambil berkata, “Beberapa hari lagi masa pengasinganmu di hutan rimba akan selesai. Di tahun ketiga belas, kalian harus hidup dengan menyamar. Yakinlah, masa itu pun akan dapat kalian lewati dengan baik. Tidak seorang musuh pun akan mengetahui keberadaan kalian. Kalian pasti lulus dalam ujian yang berat ini. Dharma akan selalu menyertaimu, Yudhistira. Setelah berkata demikian, Batara Yama menghilang.

Pengalaman Arjuna dalam perjalanan mencari senjata pamungkas yang sakti, pengalaman Bhima bertemu dengan Hanuman dan Dewa Ruci, dan pengalaman Yudhistira bertemu dengan Batara Yama, menambah kekuatan jasmani, keyakinan batin serta kemuliaan rohani Pandawa. Secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama mereka semakin tekun menjalani dan mengagungkan dharma.

Published in: on April 19, 2010 at 4:10 pm  Tinggalkan sebuah Komentar  

PUNTADEWA

Puntadewa adalah anak sulung Prabu Pandu Dewanata, seorang Raja Astinapura. yang lahir dari Dewi Kunthi Talibrata. Dari ibu yang sama ia mempunyai dua adik laki-laki, yaitu Bimasena dan Harjuna. Sedangkan dari Dewi Madrim ibu yang lain, Puntadewa mempunyai saudara laki-laki kembar, bernama Pinten dan Tansen. Kelima anak laki-laki Pandu Dewanata lebih dikenal dengan sebutan Pandhawa Lima. Selain berayah Pandudewanata, Puntadewa dikenal juga sebagai anak Dewa pendarma, yang bernama Bathara Dharma.

Pada umumnya Puntadewa dianggap tokoh baik, berwatak putih suci, berbudi halus, sabar, berbelas kasih, setia, tidak mau mengecewakan orang lain, dan tulus ikhlas memberikan kepunyaannya kepada orang lain yang membutuhkan. Bahkan istrinya sekali pun jika diminta, akan diberikan. Karena perilaku yang teramat baik itulah, Puntadewa disebut sebagai manusia sempurna berdarah putih, atau manusia Ajatasatru, artinya manusia yang tidak mempunyai musuh.

Sebagai anak sulung, Puntadewa dipersiapkan menjadi raja. Namun sayang, Pandu Dewanata wafat ketika ke lima anak-anaknya masih kecil, sehingga untuk sementara negara Astinapura di titipkan kepada kakak Pandu yang bernama Destarasta, dengan janji bahwa nanti setelah Pandawa dewasa Kerajaan Astinapura akan diserahkan kepada Puntadewa. Namun janji tersebut tidak pernah ditepati. Buktinya, setelah Puntadewa dan ke empat adiknya dewasa, para kurawa yang didalangi Patih Sengkuni mencoba membunuh mereka dengan cara menjebaknya dalam sebuah rumah dan membakarnya hidup-hidup. Peristiwa tersebut dikenal dengan sebutan “Bale Sigala-gala.” Setelah tragedi berlalu, diantara puing-puing reruntuhan, didapatkan enam jenasah yang hangus terbakar, dan itu diyakini bahwa mereka adalah Kunthi Puntadewa dan ke empat adiknya. Dengan demikian tahta Hastina sudah aman dari pewarisnya. Maka segeralah Duryudana, anak sulung Prabu Destarastra naik tahta menjadi Raja Hastinapura.

Beberapa tahun kemudian, ada berita bahwa Puntadewa, Kunthi dan keempat adiknya masih hidup dan bahkan saat ini mereka sedang merayakan perkawinan Puntadewa dengan Dewi Drupadi di Negara Pancala. Agar Para Pandawa tidak merebut tahta Hastina, Destarastra menyarankan kepada Duryudana untuk memanggil mereka dan memberikan tanah kepada Puntadewa sebagai pengganti bumi Hastina. Tanah tersebut berupa hutan yang bernama Wanamarta. Walaupun merasa diperlakukan tidak adil, dengan ikhlas Puntadewa dan keempat adiknya melakukan pekerjaan besar, yaitu Babad Alas Wanamarta.

Dikisahkan bahwa Alas Wanamarta sesungguhnya merupakan sebuah Kraton “lelembut”yang sangat indah bernama Indraprasta, Prabu Yudistira, adalah nama rajanya. Ia mempunyai empat adik laki-laki bernama Dandunwacana, Dananjaya dan saudara kembar Nakula, Sadewa. Di dalam Wayang Kulit Purwa, Prabu Yudistira dan ke empat adik laki-lakinya bentuknya sulit dibedakan dengan Pandawa Lima. Prabu Yudistira seperti Puntadewa, Dandunwacana hampir sama dengan Bimasena, Dananjaya mirip Harjuna, sedangkan Nakula Sadewa tidak jauh berbeda dengan Pinten dan Tansen.

Ketika Puntadewa, adik-adiknya dan didukung para kawula berkumpul di hutan untuk memulai membabat hutan Wanamarta, Prabu Yudistira dan adik-adiknya merasa terusik, mereka marah dan ingin menggagalkan babad Alas Wanamarta. Namun niat itu diketahui oleh Harjuna, karena ia mempunyai pusaka ‘Lenga Jayeng Katon’ yang jika dioleskan di mata dapat melihat para makhluk halus. Maka terjadilah peperangan antara Pandawa dan para penguasa Kerajaan Indraprasta.

Pada akhirnya, Prabu Yudistira dapat ditundukan. Kerajaan Indraprasta diserahkan kepada Puntadewa. Jiwa Prabu Yudistira masuk ke dalam jiwa Puntadewa, diikuti oleh jiwa Dandunwacana bersatu dengan Bimasena, Dananjaya bersatu dengan Harjuna, si kembar Nakula dan Sadewa menyatu dengan si kembar Pinten dan Tansen.

Setelah peristiwa itu, keajaiban terjadi. Alas lebat Wanamarta berubah menjadi keraton megah dan indah, dengan nama Indraprasta. Puntadewa diangkat menjadi Raja dengan gelar Prabu Yudistira. Demikian juga Bimasena disebut juga Dandunwacana, Harjuna disebut Dananjaya, dan Pinten, Tansen disebut juga Nakula, Sadewa.

Sebagai ucapan syukur atas keberhasilan mendirikan Keraton Indraprasta yang besar dan sangat indah, jauh melebihi Negara Astinapura, Prabu Yudistira mengadakan upacara sesaji yang dinamakan Sesaji Raja Suya. Pada upacara tersebut, Prabu Yudistira mengundang Raja-raja dari seribu negara, termasuk Raja Astina Prabu Duryudana. Pada Upacara Sesaji Raja Suya, nampaklah kebesaran Prabu Yudistira yang dielu-elukan raja dari seribu negara dan juga kemegahan dan keindahan negara Indraprasta. Tentu saja Prabu Duryudana menjadi iri. Di dalangi oleh Patih Sengkuni, Prabu Duryudana ingin merebut Negara Indraprasta. Maka disusunlah siasat licik. Prabu Duryudana mengundang Puntadewa untuk bermain dadu dalam sebuah acara pesta. Pada puncak permainan dadu, Puntadewa mempertaruhkan negara Indraprasta beserta isinya, dan kalah. Akibatnya Puntadewa dan adik-adiknya, juga kawula Indraprasta terusir dari keraton. Mereka dibuang ke hutan dan hidup sengsara selama 13 tahun.

Published in: on April 19, 2010 at 4:05 pm  Tinggalkan sebuah Komentar